Sabtu, 20 April 2019

Sosial Budaya Masyarakat Gunung Kidul

Gunung Kidul merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewah Yogyakarta. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Wonosari. Sebagian wilayah kabupaten ini berupa perbukitan dan pegunungan kapur, yakni bagian dari Pegunungan Sewu. Gunung kidul dikenal sebagai daerah tandus dan sering mengalami kekeringan di musim kemarau, namun menyimpan kekhasan sejarah yang unik, selain potensi pariwisata, budaya, maupun kuliner khas Gunung Kidul.

     ➤  SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT GUNUNG KIDUL
Bentuk wilayah atau fisografi merupakan salah satu faktor  yang mempengaruhi pola kehidupan sosial budaya pada masyarakat. Unsur sosial budaya merupakan instrumen penting dalam pembangunan, hal ini terkait dengan perencanaan, sasaran, dan capaian target kinerja pembangunan. Karakteristik masyarakat Gunung Kidul adalah masyarakat tradisional yang masih memegang teguh budaya luhur warisan nenek moyang. Sehingga dalam melaksanakan pembangunan pemerintah berupaya untuk mengadopsi karakteristik sosial budaya agar dapat berimprovisasi dengan kultur masyarakat yang ada.
Organisasi kesenian sebagai budaya yang terus dipupuk dan dilestarikan oleh masyarakat berjumlah 1.878 organisasi, dengan tokoh pemangku adat berjumlah 144 orang. Sementara itu desa budaya yang dikembangkan oleh pemerintah untuk menunjang kesejahteraan masyarakat sebanyak 10 desa budaya, cagar budaya yang dimiliki sebanyak 5 buah serta benda cagar budaya sejumlah 692 buah yang tersebar di wilayah kabupaten gunung kidul.

1. TRADISI RASULAN
     Rasulan merupakan tradisi yang sudah lama diselenggarakan oleh masyarakat Gunung Kidul. Tradisi rasulan merupakan kegiatan yang diselenggarakan oleh para petani setelah masa panen tiba yang dilaksanakan hampir di setiap dusun maupun desa. Tradisi ini rutin diadakan setiap tahun oleh masyarakat Gunung Kidul .
        Kirab, arak-arakan mengelilingi desa dengan membawa tumpenan atau sajian berupa hasil panen seperti, pisang, jagung, padi, ayam panggang, dan sebagainya. Rasulan biasanya diawali dengan kegiatan kerja bakti sekitar dusun seperti memperbaiki jalan, membuat atau mengecat pagar pekarangan, serta membersihkan makan. Selain itu, tradisi rasulan juga disemarakan dengan berbagai rangkaian kegiatan olahraga dan pertunjukan seni budaya.
      Masyarakat jawa percaya bahwa setiap desa memiliki tempat khusus dimana dewa berada. Tempat yang biasanya dipercaya menjadi tempat tinggal dewa adalah pohon beringin, pohon ara, pohon kapuk atau bahkan batu akik. Oleh karena itu, orang desa membuat tumpengan sebagai persembahan yang didedikasikan untuk menangkal gangguan jahat. Orang Gunung Kidul menganggap tradisi rasulan ini sebagai hari raya ketiga setelah Idul Fitri dan Idul Adha.
       Berbagai tradisi dan atraksi seni budaya disuguhkan pada perayaan Tradisi Rasulan mulai dari Kirab, doger, jathilan, wayang kulit, serta reog ponorogo. Pada tradisi rasulan, puncaknya terjadi pada saat diselenggarakannya kegiatan kirab. Kirab merupakan semacam karnaval atau arak-arakan mengelilingi desa dengan membawa tumpengan atau sajian berupa hasil panen.
Setelah kirab, rasulan dilanjutkan dengan melakukan doa bersama di balai dusun untuk ketentraman dan keselamatan seluruh warga. Acara kemudian dilanjutkan dengan kegiatan perebutan tumpengan.

2. RINDING GUMBENG
         Rinding Gumbeng merupakan salah satu kesenian khas Gunung Kidul dari daerah dusun Duren, desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul. Kesenian ini menjadi cermin kehidupan masyarakat Gunung Kidul yang dikenal sederhana, ulet, serta dekat dengan alam.
      Kesenian Rinding Gumbeng merupakan salah satu kesenian tradisional yang terdiri dari enam penabuh gumbeng, enam peniup rinding, dan tiga penyanyi perempuan biasa disebut dengan penyekar rinding dan gumbeng merupakan dua jenis alat musik yang terbuat dari bambu. Jika cara memainkan rinding adalah ditiup, maka gumbeng dimainkan dengan cara ditabuh atau dipukul
         Pada mulanya, Rinding Gumbeng dimainkan seusai masyarakat merayakan panen pertama. Kala itu masyarakat mengarak hasil bumi terbaik sebagai persembahan untuk Dewi Sri dengan diiringi musik Rinding Gumbeng yang meriah. Selain sebagai ucapan syukur atas hasil panen, masyarakat yang masih mempercayai sosok Dewi Sri sebagai dewi penjaga padi meyakini bahwa bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh alat musik Rinding Gumbeng akan menyenangkan hati Dewi Sri. Ketika Dewi Sri terhibur, maka dia akan memberikan hasil panen yang lebih melimpah pada musim-musim berikutnya.
         Pada masa kini, musik Rinding Gumbeng tidak lagi dimainkan dalam pesta panen melainkan dalam upacara Nyadran Hutan Wonosadi. Selain itu, Rinding Gumbeng juga kerap ditampilkan dalam pesta budaya baik tingkat lokal maupun nasional. Apabila dulu Rinding Gumbeng hanya dijadikan sebagai pengiring lagu-lagu tradisional, saat ini kesenian Rinding Gumbeng mampu mengiringi alat musik lainnya. Dengan penambahan berbagai alat ke dalam kelompok Rinding Gumbeng, maka saat ini, Rinding Gumbeng bisa digunakan untuk mengiringi musik dangdut, keroncong, dolanan anak-anak, maupun campursari.

3. GUMBRENGAN
        Yang menjadi rangkaian utama dalam syukuran adalah di ungkapkannya doa bersama baik dalam rangka meminta ataupun berterimakasih atas rezeki ternak yang dipelihara. Rasa syukur ini dirasa penting dan dijadikan tradisi karena keberadaan ternak baik yang berwujud unggas, kerbau, sapi, kambing, dan lain sebagainya, sangat membantu taraf hidup seperti kotoran sebagai pupuk, mengolah sawah, dan jasa angkut seperti kereta kuda, dokar, pedati dan lain sebagainya.
            Melihat banyaknya manfaat binatang peliharaan, ada masyarakat yang hingga kini masih tetap melakukan syukuran atas rezeki dari binatang tersebut, yaitu sebagian masyarakat Gunung Kidul  dengan melaksanakan tradisi “Gumbrengan”
          Tradisi Gumbrengan adalah bukti sifat luhur masyarakat petani jawa, khususnya di Yogyakarta yang begitu peduli dan sayang pada hewan ternaknya. Sajian dalam tradisi Gumbrengan adalah makanan tradisional yang berasal dari bumi seperti ketela, kimpul, nasi kupat, kolak pisang, jadah, dan trembili. Ada juga among-among, yaitu nasi putih dibungkus daun pisang yang dibuat lancip, ukuran kecil dan diberi lauk pauk.
          Gumbrengan diawali dengan doa bersama diteras milik tuan rumah. Sajian makanan tradisional disuguhkan dan doa diselenggarakan. Seusai doa, acara dilanjutkan dengan pergi ke kandang ternak dengan membawa air dan makanan yang telah disiapkan. Berbagai macam kupat yang tdisertakan dalam doa bersama juga dibawa ke kandang. Rangkaian kupat ini diletakkan di langit-langit kandang. Dimalam hari setelah itu, anak-anak boleh mengambil kupat-kupat tersebut. Karena itulah disertakan kupat tidak ada isinya, sehingga anak-anak tidak mengambil jenis kupat ini karena tidak diambil, maka masih ada sisa kupat yang menggantung di kandang yang menjadi jatah untuk ternak disana.  



sumber: gedangsari.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar