Gunung Kidul merupakan salah satu kabupaten di
Daerah Istimewah Yogyakarta. Pusat pemerintahan berada di Kecamatan Wonosari.
Sebagian wilayah kabupaten ini berupa perbukitan dan pegunungan kapur, yakni bagian
dari Pegunungan Sewu. Gunung kidul dikenal sebagai daerah tandus dan sering
mengalami kekeringan di musim kemarau, namun menyimpan kekhasan sejarah yang
unik, selain potensi pariwisata, budaya, maupun kuliner khas Gunung Kidul.
➤ SOSIAL
BUDAYA MASYARAKAT GUNUNG KIDUL
Bentuk wilayah atau fisografi merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi pola kehidupan
sosial budaya pada masyarakat. Unsur sosial budaya merupakan instrumen penting
dalam pembangunan, hal ini terkait dengan perencanaan, sasaran, dan capaian
target kinerja pembangunan. Karakteristik masyarakat Gunung Kidul adalah masyarakat
tradisional yang masih memegang teguh budaya luhur warisan nenek moyang.
Sehingga dalam melaksanakan pembangunan pemerintah berupaya untuk mengadopsi
karakteristik sosial budaya agar dapat berimprovisasi dengan kultur masyarakat
yang ada.
Organisasi kesenian sebagai budaya yang terus
dipupuk dan dilestarikan oleh masyarakat berjumlah 1.878 organisasi, dengan
tokoh pemangku adat berjumlah 144 orang. Sementara itu desa budaya yang
dikembangkan oleh pemerintah untuk menunjang kesejahteraan masyarakat sebanyak
10 desa budaya, cagar budaya yang dimiliki sebanyak 5 buah serta benda cagar
budaya sejumlah 692 buah yang tersebar di wilayah kabupaten gunung kidul.
1.
TRADISI RASULAN
Rasulan
merupakan tradisi yang sudah lama diselenggarakan oleh masyarakat Gunung Kidul.
Tradisi rasulan merupakan kegiatan yang diselenggarakan oleh para petani
setelah masa panen tiba yang dilaksanakan hampir di setiap dusun maupun desa.
Tradisi ini rutin diadakan setiap tahun oleh masyarakat Gunung Kidul .
Kirab,
arak-arakan mengelilingi desa dengan membawa tumpenan atau sajian berupa hasil
panen seperti, pisang, jagung, padi, ayam panggang, dan sebagainya. Rasulan
biasanya diawali dengan kegiatan kerja bakti sekitar dusun seperti memperbaiki
jalan, membuat atau mengecat pagar pekarangan, serta membersihkan makan. Selain
itu, tradisi rasulan juga disemarakan dengan berbagai rangkaian kegiatan
olahraga dan pertunjukan seni budaya.
Masyarakat
jawa percaya bahwa setiap desa memiliki tempat khusus dimana dewa berada.
Tempat yang biasanya dipercaya menjadi tempat tinggal dewa adalah pohon
beringin, pohon ara, pohon kapuk atau bahkan batu akik. Oleh karena itu, orang
desa membuat tumpengan sebagai persembahan yang didedikasikan untuk menangkal
gangguan jahat. Orang Gunung Kidul menganggap tradisi rasulan ini sebagai hari
raya ketiga setelah Idul Fitri dan Idul Adha.
Berbagai
tradisi dan atraksi seni budaya disuguhkan pada perayaan Tradisi Rasulan mulai
dari Kirab, doger, jathilan, wayang kulit, serta reog ponorogo. Pada tradisi
rasulan, puncaknya terjadi pada saat diselenggarakannya kegiatan kirab. Kirab
merupakan semacam karnaval atau arak-arakan mengelilingi desa dengan membawa
tumpengan atau sajian berupa hasil panen.
Setelah
kirab, rasulan dilanjutkan dengan melakukan doa bersama di balai dusun untuk
ketentraman dan keselamatan seluruh warga. Acara kemudian dilanjutkan dengan
kegiatan perebutan tumpengan.
2.
RINDING GUMBENG
Rinding
Gumbeng merupakan salah satu kesenian khas Gunung Kidul dari daerah dusun
Duren, desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunung Kidul. Kesenian ini
menjadi cermin kehidupan masyarakat Gunung Kidul yang dikenal sederhana, ulet,
serta dekat dengan alam.
Kesenian
Rinding Gumbeng merupakan salah satu kesenian tradisional yang terdiri dari
enam penabuh gumbeng, enam peniup rinding, dan tiga penyanyi perempuan biasa
disebut dengan penyekar rinding dan gumbeng merupakan dua jenis alat musik yang
terbuat dari bambu. Jika cara memainkan rinding adalah ditiup, maka gumbeng
dimainkan dengan cara ditabuh atau dipukul
Pada
mulanya, Rinding Gumbeng dimainkan seusai masyarakat merayakan panen pertama.
Kala itu masyarakat mengarak hasil bumi terbaik sebagai persembahan untuk Dewi
Sri dengan diiringi musik Rinding Gumbeng yang meriah. Selain sebagai ucapan
syukur atas hasil panen, masyarakat yang masih mempercayai sosok Dewi Sri
sebagai dewi penjaga padi meyakini bahwa bunyi-bunyian yang dihasilkan oleh
alat musik Rinding Gumbeng akan menyenangkan hati Dewi Sri. Ketika Dewi Sri
terhibur, maka dia akan memberikan hasil panen yang lebih melimpah pada
musim-musim berikutnya.
Pada
masa kini, musik Rinding Gumbeng tidak lagi dimainkan dalam pesta panen
melainkan dalam upacara Nyadran Hutan Wonosadi. Selain itu, Rinding Gumbeng
juga kerap ditampilkan dalam pesta budaya baik tingkat lokal maupun nasional.
Apabila dulu Rinding Gumbeng hanya dijadikan sebagai pengiring lagu-lagu tradisional,
saat ini kesenian Rinding Gumbeng mampu mengiringi alat musik lainnya. Dengan
penambahan berbagai alat ke dalam kelompok Rinding Gumbeng, maka saat ini, Rinding
Gumbeng bisa digunakan untuk mengiringi musik dangdut, keroncong, dolanan
anak-anak, maupun campursari.
3.
GUMBRENGAN
Yang
menjadi rangkaian utama dalam syukuran adalah di ungkapkannya doa bersama baik
dalam rangka meminta ataupun berterimakasih atas rezeki ternak yang dipelihara.
Rasa syukur ini dirasa penting dan dijadikan tradisi karena keberadaan ternak
baik yang berwujud unggas, kerbau, sapi, kambing, dan lain sebagainya, sangat
membantu taraf hidup seperti kotoran sebagai pupuk, mengolah sawah, dan jasa
angkut seperti kereta kuda, dokar, pedati dan lain sebagainya.
Melihat
banyaknya manfaat binatang peliharaan, ada masyarakat yang hingga kini masih
tetap melakukan syukuran atas rezeki dari binatang tersebut, yaitu sebagian
masyarakat Gunung Kidul dengan
melaksanakan tradisi “Gumbrengan”
Tradisi
Gumbrengan adalah bukti sifat luhur masyarakat petani jawa, khususnya di
Yogyakarta yang begitu peduli dan sayang pada hewan ternaknya. Sajian dalam
tradisi Gumbrengan adalah makanan tradisional yang berasal dari bumi seperti
ketela, kimpul, nasi kupat, kolak pisang, jadah, dan trembili. Ada juga
among-among, yaitu nasi putih dibungkus daun pisang yang dibuat lancip, ukuran
kecil dan diberi lauk pauk.
Gumbrengan
diawali dengan doa bersama diteras milik tuan rumah. Sajian makanan tradisional
disuguhkan dan doa diselenggarakan. Seusai doa, acara dilanjutkan dengan pergi
ke kandang ternak dengan membawa air dan makanan yang telah disiapkan. Berbagai
macam kupat yang tdisertakan dalam doa bersama juga dibawa ke kandang.
Rangkaian kupat ini diletakkan di langit-langit kandang. Dimalam hari setelah
itu, anak-anak boleh mengambil kupat-kupat tersebut. Karena itulah disertakan
kupat tidak ada isinya, sehingga anak-anak tidak mengambil jenis kupat ini
karena tidak diambil, maka masih ada sisa kupat yang menggantung di kandang
yang menjadi jatah untuk ternak disana.
sumber: gedangsari.com